IMPLEMENTASI
PENEGAK HUKUM DALAM NEGARA YANG BERDASARKAN PANCASILA
(
Hasil Pengumpulan, penyusunan dan analisis pada berbagai sumber informasi )
MAKALAH
(
Diajukan untuk melengkapi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila )
Oleh
MUAMAD YOGI
41032161121007
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN PANCASILA
DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
ISLAM NUSANTARA
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarokatuh ...
Puji syukur penyusun panjatkan ke
hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-Nya Saya bisa
menyelesaikan tugas Makalah Mata Kuliah Pendidikan Pancasila yang berjudul
Implmentasi Penegakan Hukum Dalam Negara yang Berdasarkan Pancasila.Makalah ini
diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila.Saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu Saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi
bagi pembaca, mahasisiwa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi
wabarokatuh ...
Bandung, 7 April 2013
Penyusun
Muhamad
Yogi
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR
ISI ..................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar
Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan
............................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A. Kondisi
hukum Indonesia ................................................................. 3
B. Inkonsistensi
Penegak hukum di indonesia ...................................... 6
C. Akibat
dari Inkonistensi Penegak hukum ......................................... 9
D. Prioritas
Penegak hukum .................................................................. 12
E. Solusi
Permasalahan hukum indonesia ............................................. 13
BAB
III PENUTUP .......................................................................................... 16
A. Kesimpulan
....................................................................................... 16
B. Saran
................................................................................................. 16
C. Daftar
Pustaka .................................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar
Belakang
Institusi dan lembaga
kepolisian, kehakiman, kejaksaan, dan pengacara, merupakan lembaga hukum yang
berhubungan erat dengan sistem hukum yang harus ditata dalam sebuah struktur
hukum yang sistemik. Komponen sistem hukum tersebut jika kita kaitkan dengan
kondisi hukum nasional kita saat ini sepertinya belum merupakan pengejawantahan
nilai-nilai Pancasila.
Penciptaan
berbagai peraturan perundang-undangan tidak saja membawa perbaikan tetapi justru
membingungkan dan membebani kehidupan masyarakat, sehingga membuat masyarakat
menjadi lebih apatis dan apriori terhadap hukum itu sendiri. Sementara
institusi dan aparatur hukum belum sepenuhnya menyentuh substansi justice, yang
merupakan harapan terakhir masyarakat yang mencari keadilan. Sementara itu,
arus reformasi yang tidak terkendali (keblablasan) telah menciptakan masyarakat
yang beprilaku/berbudaya membabi buta. Kondisi keterpurukan tersebut telah
menjadikan Sistem Hukum kita seakan tidak berfungsi sebagaimana yang kita
harapkan bersama, yakni sebuah sistem hukum yang mampu dijadikan benteng
terakhir para pencari keadilan.
Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering terjebak dalam rutinitas penegakan hukum semata, lupa
dengan hal yang lebih penting dari sekedar penegakan hukum yakni berfungsinya
komponen sistem hukum secara optimal. Dengan semakin meningkatnya dimensi,
kuantitas, dan kualitas kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum dan
berkembangnya bidang-bidang hukum baru yang selama ini tidak dikenal, maka
sudah sepantasnya kita merenung untuk kembali mengoreksi sistem hukum kita,
seberapa besar nilai-nilai Pancasila yang merupakan warisan luhur bangsa kita
sebagai pedoman dalan Sistem hukum kita
B. Rumusan Masalah
A.
Bagamana kondisi hokum di Indonesia ?
B.
Mengapa penegak hukum di Indonesia
inkonsistensi dalam melaksanakan
fungsi
dan tugas nya ?
C.
Apa akibat Inkonsistensi para penegak
hukum di Indonesia ?
D.
Apa Prioritas dari penegak hukum di
indonesia ?
E.
Apa solusi Permasalahan hukum di
Indonesia ?
C. Tujuan
A. Untuk
mengetahui kondisi hukum di Indonesia
B. Untuk
mengetahui penyebab Inkonsistensi para penegak hukum dalam melaksanakan fungsi
dan tugasnya
C. Untuk
mengetahui dampak dari inkonsistensi para penegak hukum di Indonesia
D. Untu
mengetahuai Prioritas Penegak hukum di Indonesia
E. Untuk
mengetahui solusi permasalahan hukum di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Hukum di Indonesia
Gambaran Umum Kondisi hukum negara Indonesia
kita dewasa ini sangat memperihatinkan. Hukum di perlukan agar
kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dapat memperoleh bentuk resmi
yang bersifat mengikat dan dapat di paksakan berlakunya untuk umum. Karena
hukum yang baik, kita perlukan dalam rangka pembuatan kebijakan ( policy making
)yang di perlukan dalam merekayasa, mendinamisasi, dan mendorong serta
mengarahkan guna mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah negara kesatuan
republik Indonesia, yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 .
Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan
kebijakan-kebijakan tersebut (policy executing ) , hukum juga di fungsikan
sebagai sarana pengendali dan sebagai sumber rujukan yang mengikat dalam
menjalankan segala roda pemerintahan dan kegiatan penyelenggaraan negara. Namun
dalam kenyataan praktik, baik dalam konteks pembuatan kebijakan ( policy making
) maupun dalam konteks pelaksanaan kebijakan ( policy executing ), masih
terlihat adanya gejala anomi dan anomali yang belum dapat di selesaikan dengan
baik selama 12 tahun pasca reformasi ini. Dari segi sistem norma,
perubahan-perubahan telah terjadi di mulai dari norma-norma dasar dalam
konstitusi negara yang mengalami perubahan mendasar. Dari segi materinya, dapat
di katakana bahwa UUD 1945 telah mengalami perubahan 300 persen dari isi
aslinya sebagaimana di warisi dari tahun 1945. Sebagai akibat lanjutannya maka
keseluruhan sistem norma hukum sebagaimana tercermin dalam pelbagai peratuaran
perundang-undangan harus pula di ubah dan di perbaharui. Sebenarnya, upaya
pembaruan hukum itu sendiri tentu dapat di katakan sudah berjalan selama 12
tahun trakhir ini. Namun demikian dapat di katakan bahwa : pertama ,
perubahan-perubahan tersebut cenderung di lakukan secara cicilan,
sepotong-sepotong tanpa peta jalan (road-map )yang jelas. Akibatnya, perubahan
sistem norma hukum kita selama 12 tahun masa reformasi ini belum menghasilkan
kinerja negara hukum yang kita idealkan.
Kedua,
pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan baru telah banyak
menghasilkan norma-norma hukum baru yang mengikat untuk umum. Akan tetapi
norma-norma baru itu belum secara cepat terealisasi secara umum sehingga
pelaksanaannya di lapangan banyak mengalami kendala dan kegagalan. Sebaliknya,
norma-norma hukum yang lama, sebagai akibat sudah terbentuknya norma hukum yang
baru, tentu sudah tidak lagi di jadikan rujukan dalam praktik. Ketiga, di masa
reformasi ini banyak sekali lembaga baru yang di bentuk untuk maksud yang mulia,
yaitu agar kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang sudah berubah sebagai
masyarakat demokratis dapat lebih efisien dan efektif di layani oleh
fungsi-fungsi kekuasaan negara. Pembentukan lembaga-lembaga baru itu di lakukan
sekaligus dengan mengubah fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang ada sebelumnya.
Akan tetapi dalam kenyataan praktik sampai sekarang ternyata banyak sekali
lembaga-lembaga baru yang kinerjanya belum berhasil menempatkan diri secara
tepat dalam sistem kenegaraan baru berdasarkan UUD 1945. Sementara
lembaga-lembaga yang lama sudah lumpuh dan tidak lagi menjalankan fungsinya
yang di ambil alih oleh lembaga baru. Akibatnya timbul gejala tumpang tindih
akibat banyaknya lembaga yang menangani satu fungsi yang sama, sementara di
pihak lain banyak fungsi yang tidak ada lembaga yang menanganinya sama sekali.
Karena itu dapat di katakan bahwa sudah 12 tahun masa reformasi ini , kita
menghadapi keadaan anomi dan anomali. Keadaan anomi mencerminkan keadaan yang
seolah-olah ketiadaan norma (a-nomous ), sedangkan keadaan anomali menegaskan
adanya kekacauan structural dan fungsional dalam hubungan lembaga dan
badan-badan penyelengara fungsi kekuasaan negara. Dalam konteks pembuatan
aturan, perhatikanlah bagaimana kinerja lembaga-lembaga legislasi dan regulasi
kita, baik di tingkat pusat maupun daerah, kinerjanya sebagian besar masih
belum profesional dan mengarah kepada upaya perbaikan sistem hukum secara
keseluruhan. Baik DPR, DPD, DPRD. Biro-biro hukum pelbagai instansi
pemerintahan masih bekerja secara serabutan dan tanpa arah yang jelas,
melainkan hanya berdasarkan kebutuhan dadakan dan di dasarkan atas pesanan
ataupun perintah yang bersifat sesaat dan seperlunya. Demikian pula di bidang
pelaksaan kebijakan (policy executing) , yang menentukan justru adalah atasan
atau pejabat yang berwenang mengambil keputusan. Sistem birokrasi penerapan
hukum kita masih sangat personal, belum melembaga secara kuat, dan masih sangat
tergantung kepada keteladanan pimpinan.
Contoh Kasus kekacauan
hukum Indonesia juga dapat di lihat dari beberapa contoh kasus berikut ini,
dimana dalam proses penegakan hukum (law enforcement ), aparat penyelidik,
penyidik, penuntut, pembela, dan hakim, pemutus, dan aparatur pemasyarakatan
masih bekerja dengan kultur kerja yang tradisional dan cenderung primitive.
Lihatlah bagaimana kasus Bibit dan Chandra (mantan ketua KPK ) memberi tahu
kepada kita semua mengenai kebobrokan dunia penegakan hukum kita . Dari kasus
ini jelas tergambar betapa buruknya cara kerja lembaga penyidik di negara kita.
Sebaliknya, lihat pula terungkapnya kasus istana dalam penjara yang melibatkan
Artalyta Suryani yang menikmati kamar tidur mewah, yang jelas tidak adil bagi
narapidana lain yang tidak berpunya. Dengan perkataan lain, kita banyak
menghadapi masalah mulai dari lembaga penyidik sampai ke lembaga
pemasyarakatan. Mengenai kasus Bibit dan Chandra , misalnya, telah menyedot
perhatian public yang sangat luas selama berbulan-bulan. Namun, solusi yang di
ambil kemudian adalah penghentian perkaranya oleh kejaksaan atas tekanan
public. Solusi demikian juga mencatatkan preseden yang sangat buruk dalam
penegakkan hukum yang tunduk kepada tekanan politik yang datang dari bawah (
civil society ), maka pada saat yang lain jangan salahkan jika ada orang yang
menilai bahwa aparat yang sama akan tunduk dan takluk pula pada tekanan politik
yang datang dari atas ( state ) ataupun dari samping (market). Selain itu
kasus-kasus besar lainya seperti kasus Bank Century yang menyeret banyak nama
pejabat negara seperti wakil presiden Budiono, komjen Susno Duadji, dll, yang
hingga kini kasusnya masih menggantung dan belum terselesaikan dengan baik.
kemudian kasus Wisma atlet yang melibatkan Nazarudin ( sekretaris partai
Demokrat ), kasus korupsi di DitJen pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, kasus
cek pelawat dalam pemilihan deputi senior Bank Indonesia yang melibatkan Nunun
Nurbaeti ( Istri purnawirawan Adang Drajatun ), merebaknya kasus terorisme dan
kriminal di masyarakat, serta kasus pelanggaran hukum lain yang penanganannya
menodai rasa keadilan kita seperti kasus pencurian sandal jepit oleh anak di
bawah umur Aal, kasus ibu Rusminah dari Sulawesi yang mencuri tiga butir buah
kakao, dan lain sebagainya. Dari semua kasus tersebut kita dapat berkaca
bobroknya sistem penegakan hukum di negara kita. Maka jalan yang tersedia di
hadapan kita hanya satu, yaitu kita harus melangkah ke depan untuk memperbaiki
sistem hukum dan peradilan di tanah air kita sebagaimana mestinya dengan cetak
biru dan peta jalan ( road map ) yang jelas berdasarkan UUD 1945. Beberapa
Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesi
B. Inkonsistensi Penegak Hukum Di
Indonesia
Kasus-kasus
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis
mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun
peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik.
1. Tingkat Kekayaan
Seseorang
Salah satu keputusan
kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi
proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT
Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun
penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan
rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk
kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah
berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun
relatif berjalan dengancepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank
Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco,dan kasus-kasus
korupsi milyaran rupiah lainnya.
Dibandingkan dengan
kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara
“hanya” sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak
sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang menyebabkan
Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh
dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki
oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi.
Kita bisa membandingkan
dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 .
Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000
meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan dengan masa
percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli
tanah
sengketa.
Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali masuk
penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana
mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta lebih dari 100 kali
dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri,
DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali
memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.
2. Tingkat Jabatan
Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan
dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan)
yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi
banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan
yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah
dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam
kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan
administratif, semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas
Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam kasus ini,
terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan
elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut.
Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah
tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat
terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak
kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk
mengusut
kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang
sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai
makalah ini dibuat, janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.
3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf)
Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI)
Subagyo HS, diperinganhukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara
menjadi dua tahun penjara . Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke
kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis
mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan
vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan
atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga
memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus
narkoba.Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan
penjara karena kasus manipulasi tukar giling tanah Bulog di Kelapa Gading dan
merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil
ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah
permohonan grasinya ditolak oleh presiden.
Masyarakat melihat
bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar melalui
media cetak dan elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto
masih berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini mengesankan adanya diskriminasi
hukum bagi keluarga bekas pejabat.
4. Tekanan
Internasional
Kasus Atambua, Nusa
Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang menewaskan
tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat. Dimulai
dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa
Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman
Wahid untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk
mengirim misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group
on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat.
Tekanan internasional
ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti
persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi
Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab. Apabila dibandingkan dengan
kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya :
Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami
penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus
ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi
kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian internasional dalam kasus-kasus
kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada
kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan internasional
menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus
kekerasan.
C. Beberapa Akibat Inkonsistensi
Penegakan Hukum di Indonesia
Inkonsistensi penegakan
hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah
terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book.
Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu
masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi
masyarakat membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila
mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan
inkonsistensi penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini
menunjukkan bagaimana perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.
1. Ketidak percayaan Masyarakat pada
Hukum
Masyarakat meyakini
bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin dihindari. Bila
seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan
upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa
kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian
masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat
waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya
menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana
pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan. Pendapat umum menempatkan
hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun
demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam
hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat,
didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan
yang tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim
dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini
kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana
pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu
sendiri. Beberapa kasus menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk
melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan
pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara
sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa kasus
pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha
besar dan krooni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa
terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.
2. Penyelesaian Konflik
dengan Kekerasan
Penyelesaian konflik
dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di Indonesia. Suatu
persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat
berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran
dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa
beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini
menerapkan hukum yang bersifat menekan (repressive). Masyarakat menerapkan
sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah
Kerugian obyektif yang
menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul
karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran
kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain
agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama. Pada beberapa kasus yang
lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga
Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar
seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya,
konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi
tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan melalui tindakan
kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali,
masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan
kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang melanggar hukum menurut versinya
tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa. Suatu
kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut
aturan kelompok tersebut.
3.
Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dalam beberapa kasus
yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan
kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu
perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara
terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang seharusnya berada di
kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan
dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya. Sementara
posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya
kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang
seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan
kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya
bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu.
Dengan skenario diatas,
lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya mencari kebenaran dan
penyelesaian masalah menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur untuk
membebaskan terdakwa. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang
dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang
miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih
tinggi.
4. Penggunaan Tekanan
Asing dalam Proses Peradilan
Campur tangan asing
bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat membawa berkah
bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan hukum oleh
aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif melakukan tekanan-tekanan
semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus pembunuhan di Aceh, tragedi
Ambon,Sambas, dan sebagainya. Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga
memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat. Beberapa perusahaan asing yang
terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh masyarakat adat
setempat, serta sengketa perburuhan, kadang menggunakan negara induknya untuk
melakukan pendekatan dan tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar tercapai
kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk
menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman
embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan
sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses
hukum yang sedang atau akan dijalaninya.
D.
Prioritas Penegakan Hukum
Inkonsistensi penegakan
hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini
paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi
kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan
hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai
hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik
dan permasalahan mereka di luar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi
masyarakat itu sendiri.
Pemanfaatan
inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya
sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang
setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di
masyarakat Indone sia.Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
Melihat penyebab
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas perbaikan harus
dilakukan pada aparat,baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif)
yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan kinerja dan
moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme akan terus
berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Selain perbaikan kinerja
aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus tidak
adanya perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan
tidak akan muncul lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas. Selain mengharapkan
peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan
menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman,
diharapkan pula peran dan kontrol publik baik melalui perorangan, media massa,
maupun lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga
menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara konsisten.
E. Solusi Permasalahan hukum di
indonesia
Sebagai warga negara yang baik dan sadar hukum
serta peduli akan masa depan sistem penegakkan hukum di Indonesia agar tercipta
kehidupan yang aman, damai dan sejahtera atas dasar rasa keadilan. Maka
sepantasnyalah kita dapat mengusulkan :
1. kiranya sistem peradilan kita di evaluasi
dan di adakan perubahan mendasar agar proses peradilan dan produk putusan
pengadilan dapat di tingkatkan menjadi lebih bermutu dan benar-benar menjadi
independensi peradilan secara benar dan memperbaiki sistem peradilan yang menjamin
mutu putusan seperti dengan menerapkan kebijakan pembatasan perkara di Mahkamah
Agung sambil memperkuat kedudukan dan peranan pengadilan tinggi di setiap
ibukota propinsi.
2. Kemudian di
lingkungan peradilan, sebaiknya segera di adakan sistem kamar dalam penanganan
perkara, tidak lagi sistem majelis seperti di peraktikan selama ini. Dengan
sistem kamar itu, perkara-perkara (i) pidana, ( ii) perdata umum, (iii) bisnis,
(iv) agama, (v) tata usaha negara, dan (vi)militer, dapat di tangani secara professional
oleh hakim yang memang menguasai bidang hukum terkait.
3. Demikian pula dengan
aparat dan aparatur penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembelaan, dan
pemasyarakatan juga perlu segera di reformasi secara mendasar. Polisi, sejak
berpisah dari TNI tentu harus mengubah wataknya jangan lagi militeristik.
Polisi adalah pengayom masyarakat bukan bermusuhan dengan rakyat. kejaksaan
lembaga penuntut khusus lain, yaitu KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) juga
haruslah bertindak profesional sebagai lembaga penegak keadilan , bukan sekedar
merupakan lembaga penegak peraturan.
4. Kemudian yang tidak
kalah pentingnya adalah profesi advokat yang masih jauh dari idealitas
profesionalnya sebagai penegak hukum. Apalagi sampai sekarang persatuan para
advokat dalam wadah tunggal masih menghadapi kendala dan tidak kunjung
terselesaikan. Padahal para advokat mengimpikan watak independensi yang kokoh
bagi kedudukan professional mereka. Namun, jika para advokat justru tidak dapat
menyelesaikan sendiri masalah internal mereka. Apa alasannya untuk mencegah
agar fungsi-fungsi negara yang relevan ikut berperan jikalau kepentingan rakyat
dan negara justru menuntut berfungsinya organisasi tunggal para advokat yang
oleh undang-undang advokat telah di kukuhkan sebagai aparay penegak hukum ?
Selain itu menurunnya kesadaran hukum di
masyarakat kita yang berakibat tingginya angka pelanggaran hukum, juga di
sebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu hukum serta
ilmu agama di tengah masyarakat kita. Untuk itu memasukan ilmu hukum kedalam
kurikulum pelajaran sekolah mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi di
rasa perlu agar generasi muda bisa memahami ilmu hukum sejak dini. Kemudian,
menjadikan pelajaran agama sebagai salah satu pelajaran yang di masukan kedalam
Ujian Nasional (UN) sebagai landasan kelulusan peserta didik juga di nilai
perlu agar para peserta didik tidak hanya menguasai pengetahuan umum juga
pemahaman agama sebagai bekal mereka serta landasan berperikau di masyarakat.
Semoga dengan itu dapat mengurangi angka pelanggaran hukum sehigga kehidupan
yang aman dan damai seperti yang di cita-citakan dapat terwujud. Selain
beberapa solusi tersebut di atas, tentunya masih banyak solusi lainnya yang
menjadi tugas kita bersama untuk menggali dan mewujudkannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kondisi hukum di Indonesia dewasa ini sangat
memprihatinkan. Hal ini tergambar dari penanganan berbagai kasus pelanggaran
hukum yang tidak terselesaikan dengan baik, serta meninggkatnya angka
pelanggaran hukum di akibatkan oleh menurunnya kesadaran masyarakat tentang
hukum dan kurangnya wibawa dan profesionalisme para aparat penegak hukum serta
kurangnya perhatian dan jaminan hukum dari pemerintah.
Sebagai warga negara yang baik, sadar hukum,
serta memilki kepedulian akan kondisi hukum di Indonesia, sepantasnyalah kita
dapat mengajukan beragam solusi untuk memperbaiki kondisi yang sedang terjadi
agar sesuai dengan tujuan dan cita-cita bersama.
B. Saran
Penguasa negara harus
bisa memproyeksikan dan men-real-kan(menjadi kenyataan) sebuah tujuan negara
yang termaktub dalam alinea IV UUD NRI 1945. Dengan tidak bertindak
sewenang-wenang.
Rakyat juga harus
membantu mewujudkannya dengan mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang
ada dalam negara indonesia, serta membantu pemerintah dalam mewujudkannya negara
aman. Adil, sejahtera, dan makmur.
Maka
dari itu, harus ada kerjasama kesinambungan berkelanjutan antara penguasa negara dan rakyat dalam membangun negara
indonesia ini. Penguasa negara menyediakan sarana dan prasarana, serta
infrastruktur yang memadai. Sehingga rakyat mempunyai lapangan pekerjaan yang
banyak untuk pemenuhan hidupnya. Serta adanya timbal balik dari rakyat berupa
pajak, sebagai devisa negara yang digunakan
untuk pembangunan bangsa sehingga apa yang dicita-citakan negara dalam
pembukaan alinea IV UUD NRI 1945 dapat tercapai.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Achmad.1999. Pengadilan dan Masyarakat. Ujung
Pandang : Hasanudin
University Press
Doyle, Paul
Johnson.1986.Teori Sosiologi Klasik dan
Modern Terjemahan Robert
M.Z.
Lawang.
Jakarta : Gramedia
Soemardi,
Dedi.1997.Pengantar Hukum Indonesia.
Jakarta : Ind-Hill
Soerjono,Soekanto.
1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi
penegakan
hukum.Jakarta : Rajawali
No comments:
Post a Comment