Saturday, 27 April 2013

IMPLEMENTASI PENEGAK HUKUM DALAM NEGARA YANG BERDASARKAN PANCASILA





IMPLEMENTASI PENEGAK HUKUM DALAM NEGARA YANG BERDASARKAN PANCASILA
( Hasil Pengumpulan, penyusunan dan analisis pada berbagai sumber informasi )



MAKALAH
( Diajukan untuk melengkapi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila )





Oleh
MUAMAD YOGI
41032161121007














  
 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA
 DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
 UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG
 2013






KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh ...


         Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-Nya Saya bisa menyelesaikan tugas Makalah Mata Kuliah Pendidikan Pancasila yang berjudul Implmentasi Penegakan Hukum Dalam Negara yang Berdasarkan Pancasila.Makalah ini diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila.Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
        Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasisiwa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh ...



                                                                                               Bandung, 7 April 2013
                                                                                                          Penyusun

                                                                                                     Muhamad Yogi


 
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .....................................................................................   ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................   iii

BAB I   PENDAHULUAN ..............................................................................   1
A.    Latar Belakang  .................................................................................   1
B.     Rumusan Masalah .............................................................................   2
C.     Tujuan ...............................................................................................   2

BAB II  PEMBAHASAN .................................................................................   3
A.    Kondisi hukum Indonesia .................................................................   3
B.     Inkonsistensi Penegak hukum di indonesia ......................................   6
C.     Akibat dari Inkonistensi Penegak hukum .........................................   9
D.    Prioritas Penegak hukum ..................................................................   12
E.     Solusi Permasalahan hukum indonesia .............................................   13

BAB III PENUTUP ..........................................................................................   16
A.    Kesimpulan .......................................................................................   16
B.     Saran .................................................................................................   16
C.     Daftar Pustaka ..................................................................................   17


















BAB I
PENDAHULUAN

A  Latar Belakang
Institusi dan lembaga kepolisian, kehakiman, kejaksaan, dan pengacara, merupakan lembaga hukum yang berhubungan erat dengan sistem hukum yang harus ditata dalam sebuah struktur hukum yang sistemik. Komponen sistem hukum tersebut jika kita kaitkan dengan kondisi hukum nasional kita saat ini sepertinya belum merupakan pengejawantahan nilai-nilai Pancasila.
Penciptaan berbagai peraturan perundang-undangan tidak saja membawa perbaikan tetapi justru membingungkan dan membebani kehidupan masyarakat, sehingga membuat masyarakat menjadi lebih apatis dan apriori terhadap hukum itu sendiri. Sementara institusi dan aparatur hukum belum sepenuhnya menyentuh substansi justice, yang merupakan harapan terakhir masyarakat yang mencari keadilan. Sementara itu, arus reformasi yang tidak terkendali (keblablasan) telah menciptakan masyarakat yang beprilaku/berbudaya membabi buta. Kondisi keterpurukan tersebut telah menjadikan Sistem Hukum kita seakan tidak berfungsi sebagaimana yang kita harapkan bersama, yakni sebuah sistem hukum yang mampu dijadikan benteng terakhir para pencari keadilan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering terjebak dalam rutinitas penegakan hukum semata, lupa dengan hal yang lebih penting dari sekedar penegakan hukum yakni berfungsinya komponen sistem hukum secara optimal. Dengan semakin meningkatnya dimensi, kuantitas, dan kualitas kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum dan berkembangnya bidang-bidang hukum baru yang selama ini tidak dikenal, maka sudah sepantasnya kita merenung untuk kembali mengoreksi sistem hukum kita, seberapa besar nilai-nilai Pancasila yang merupakan warisan luhur bangsa kita sebagai pedoman dalan Sistem hukum kita











B. Rumusan Masalah
A.    Bagamana kondisi hokum di Indonesia ?
B.     Mengapa penegak hukum di Indonesia inkonsistensi dalam melaksanakan  
fungsi dan tugas nya ?
C.     Apa akibat Inkonsistensi para penegak hukum di Indonesia ?
D.    Apa Prioritas dari penegak hukum di indonesia ?
E.     Apa solusi Permasalahan hukum di Indonesia ?

C. Tujuan
A.    Untuk mengetahui kondisi hukum di Indonesia
B.     Untuk mengetahui penyebab Inkonsistensi para penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya
C.     Untuk mengetahui dampak dari inkonsistensi para penegak hukum di Indonesia
D.    Untu mengetahuai Prioritas Penegak hukum di Indonesia
E.     Untuk mengetahui solusi permasalahan hukum di Indonesia
   
























BAB II
 PEMBAHASAN

A.    Kondisi Hukum di Indonesia
 Gambaran Umum Kondisi hukum negara Indonesia kita dewasa ini sangat memperihatinkan. Hukum di perlukan agar kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dapat memperoleh bentuk resmi yang bersifat mengikat dan dapat di paksakan berlakunya untuk umum. Karena hukum yang baik, kita perlukan dalam rangka pembuatan kebijakan ( policy making )yang di perlukan dalam merekayasa, mendinamisasi, dan mendorong serta mengarahkan guna mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia, yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 .
 Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (policy executing ) , hukum juga di fungsikan sebagai sarana pengendali dan sebagai sumber rujukan yang mengikat dalam menjalankan segala roda pemerintahan dan kegiatan penyelenggaraan negara. Namun dalam kenyataan praktik, baik dalam konteks pembuatan kebijakan ( policy making ) maupun dalam konteks pelaksanaan kebijakan ( policy executing ), masih terlihat adanya gejala anomi dan anomali yang belum dapat di selesaikan dengan baik selama 12 tahun pasca reformasi ini. Dari segi sistem norma, perubahan-perubahan telah terjadi di mulai dari norma-norma dasar dalam konstitusi negara yang mengalami perubahan mendasar. Dari segi materinya, dapat di katakana bahwa UUD 1945 telah mengalami perubahan 300 persen dari isi aslinya sebagaimana di warisi dari tahun 1945. Sebagai akibat lanjutannya maka keseluruhan sistem norma hukum sebagaimana tercermin dalam pelbagai peratuaran perundang-undangan harus pula di ubah dan di perbaharui. Sebenarnya, upaya pembaruan hukum itu sendiri tentu dapat di katakan sudah berjalan selama 12 tahun trakhir ini. Namun demikian dapat di katakan bahwa : pertama , perubahan-perubahan tersebut cenderung di lakukan secara cicilan, sepotong-sepotong tanpa peta jalan (road-map )yang jelas. Akibatnya, perubahan sistem norma hukum kita selama 12 tahun masa reformasi ini belum menghasilkan kinerja negara hukum yang kita idealkan.


    Kedua, pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan baru telah banyak menghasilkan norma-norma hukum baru yang mengikat untuk umum. Akan tetapi norma-norma baru itu belum secara cepat terealisasi secara umum sehingga pelaksanaannya di lapangan banyak mengalami kendala dan kegagalan. Sebaliknya, norma-norma hukum yang lama, sebagai akibat sudah terbentuknya norma hukum yang baru, tentu sudah tidak lagi di jadikan rujukan dalam praktik. Ketiga, di masa reformasi ini banyak sekali lembaga baru yang di bentuk untuk maksud yang mulia, yaitu agar kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang sudah berubah sebagai masyarakat demokratis dapat lebih efisien dan efektif di layani oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara. Pembentukan lembaga-lembaga baru itu di lakukan sekaligus dengan mengubah fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Akan tetapi dalam kenyataan praktik sampai sekarang ternyata banyak sekali lembaga-lembaga baru yang kinerjanya belum berhasil menempatkan diri secara tepat dalam sistem kenegaraan baru berdasarkan UUD 1945. Sementara lembaga-lembaga yang lama sudah lumpuh dan tidak lagi menjalankan fungsinya yang di ambil alih oleh lembaga baru. Akibatnya timbul gejala tumpang tindih akibat banyaknya lembaga yang menangani satu fungsi yang sama, sementara di pihak lain banyak fungsi yang tidak ada lembaga yang menanganinya sama sekali. Karena itu dapat di katakan bahwa sudah 12 tahun masa reformasi ini , kita menghadapi keadaan anomi dan anomali. Keadaan anomi mencerminkan keadaan yang seolah-olah ketiadaan norma (a-nomous ), sedangkan keadaan anomali menegaskan adanya kekacauan structural dan fungsional dalam hubungan lembaga dan badan-badan penyelengara fungsi kekuasaan negara. Dalam konteks pembuatan aturan, perhatikanlah bagaimana kinerja lembaga-lembaga legislasi dan regulasi kita, baik di tingkat pusat maupun daerah, kinerjanya sebagian besar masih belum profesional dan mengarah kepada upaya perbaikan sistem hukum secara keseluruhan. Baik DPR, DPD, DPRD. Biro-biro hukum pelbagai instansi pemerintahan masih bekerja secara serabutan dan tanpa arah yang jelas, melainkan hanya berdasarkan kebutuhan dadakan dan di dasarkan atas pesanan ataupun perintah yang bersifat sesaat dan seperlunya. Demikian pula di bidang pelaksaan kebijakan (policy executing) , yang menentukan justru adalah atasan atau pejabat yang berwenang mengambil keputusan. Sistem birokrasi penerapan hukum kita masih sangat personal, belum melembaga secara kuat, dan masih sangat tergantung kepada keteladanan pimpinan.
Contoh Kasus kekacauan hukum Indonesia juga dapat di lihat dari beberapa contoh kasus berikut ini, dimana dalam proses penegakan hukum (law enforcement ), aparat penyelidik, penyidik, penuntut, pembela, dan hakim, pemutus, dan aparatur pemasyarakatan masih bekerja dengan kultur kerja yang tradisional dan cenderung primitive. Lihatlah bagaimana kasus Bibit dan Chandra (mantan ketua KPK ) memberi tahu kepada kita semua mengenai kebobrokan dunia penegakan hukum kita . Dari kasus ini jelas tergambar betapa buruknya cara kerja lembaga penyidik di negara kita. Sebaliknya, lihat pula terungkapnya kasus istana dalam penjara yang melibatkan Artalyta Suryani yang menikmati kamar tidur mewah, yang jelas tidak adil bagi narapidana lain yang tidak berpunya. Dengan perkataan lain, kita banyak menghadapi masalah mulai dari lembaga penyidik sampai ke lembaga pemasyarakatan. Mengenai kasus Bibit dan Chandra , misalnya, telah menyedot perhatian public yang sangat luas selama berbulan-bulan. Namun, solusi yang di ambil kemudian adalah penghentian perkaranya oleh kejaksaan atas tekanan public. Solusi demikian juga mencatatkan preseden yang sangat buruk dalam penegakkan hukum yang tunduk kepada tekanan politik yang datang dari bawah ( civil society ), maka pada saat yang lain jangan salahkan jika ada orang yang menilai bahwa aparat yang sama akan tunduk dan takluk pula pada tekanan politik yang datang dari atas ( state ) ataupun dari samping (market). Selain itu kasus-kasus besar lainya seperti kasus Bank Century yang menyeret banyak nama pejabat negara seperti wakil presiden Budiono, komjen Susno Duadji, dll, yang hingga kini kasusnya masih menggantung dan belum terselesaikan dengan baik. kemudian kasus Wisma atlet yang melibatkan Nazarudin ( sekretaris partai Demokrat ), kasus korupsi di DitJen pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, kasus cek pelawat dalam pemilihan deputi senior Bank Indonesia yang melibatkan Nunun Nurbaeti ( Istri purnawirawan Adang Drajatun ), merebaknya kasus terorisme dan kriminal di masyarakat, serta kasus pelanggaran hukum lain yang penanganannya menodai rasa keadilan kita seperti kasus pencurian sandal jepit oleh anak di bawah umur Aal, kasus ibu Rusminah dari Sulawesi yang mencuri tiga butir buah kakao, dan lain sebagainya. Dari semua kasus tersebut kita dapat berkaca bobroknya sistem penegakan hukum di negara kita. Maka jalan yang tersedia di hadapan kita hanya satu, yaitu kita harus melangkah ke depan untuk memperbaiki sistem hukum dan peradilan di tanah air kita sebagaimana mestinya dengan cetak biru dan peta jalan ( road map ) yang jelas berdasarkan UUD 1945. Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesi
B. Inkonsistensi Penegak Hukum Di Indonesia
Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik.

1. Tingkat Kekayaan Seseorang
Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengancepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco,dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya.
Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi.
Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 . Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah
sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.

2. Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk
mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.

3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperinganhukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara . Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar giling tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan grasinya ditolak oleh presiden.
Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.

4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang menewaskan tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat.
Tekanan internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.

C. Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.

       1. Ketidak percayaan Masyarakat pada Hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan. Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan krooni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.

2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah
Kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama. Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa. Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.

3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu.
Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya mencari kebenaran dan penyelesaian masalah menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan terdakwa. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih tinggi.

4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon,Sambas, dan sebagainya. Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat. Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.

D.  Prioritas Penegakan Hukum

Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri.
Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indone sia.Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
Melihat penyebab inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat,baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus tidak adanya perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak akan muncul lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas. Selain mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara konsisten.

E. Solusi Permasalahan hukum di indonesia
 Sebagai warga negara yang baik dan sadar hukum serta peduli akan masa depan sistem penegakkan hukum di Indonesia agar tercipta kehidupan yang aman, damai dan sejahtera atas dasar rasa keadilan. Maka sepantasnyalah kita dapat mengusulkan :
 1. kiranya sistem peradilan kita di evaluasi dan di adakan perubahan mendasar agar proses peradilan dan produk putusan pengadilan dapat di tingkatkan menjadi lebih bermutu dan benar-benar menjadi independensi peradilan secara benar dan memperbaiki sistem peradilan yang menjamin mutu putusan seperti dengan menerapkan kebijakan pembatasan perkara di Mahkamah Agung sambil memperkuat kedudukan dan peranan pengadilan tinggi di setiap ibukota propinsi.

2. Kemudian di lingkungan peradilan, sebaiknya segera di adakan sistem kamar dalam penanganan perkara, tidak lagi sistem majelis seperti di peraktikan selama ini. Dengan sistem kamar itu, perkara-perkara (i) pidana, ( ii) perdata umum, (iii) bisnis, (iv) agama, (v) tata usaha negara, dan (vi)militer, dapat di tangani secara professional oleh hakim yang memang menguasai bidang hukum terkait.
3. Demikian pula dengan aparat dan aparatur penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembelaan, dan pemasyarakatan juga perlu segera di reformasi secara mendasar. Polisi, sejak berpisah dari TNI tentu harus mengubah wataknya jangan lagi militeristik. Polisi adalah pengayom masyarakat bukan bermusuhan dengan rakyat. kejaksaan lembaga penuntut khusus lain, yaitu KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) juga haruslah bertindak profesional sebagai lembaga penegak keadilan , bukan sekedar merupakan lembaga penegak peraturan.
4. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah profesi advokat yang masih jauh dari idealitas profesionalnya sebagai penegak hukum. Apalagi sampai sekarang persatuan para advokat dalam wadah tunggal masih menghadapi kendala dan tidak kunjung terselesaikan. Padahal para advokat mengimpikan watak independensi yang kokoh bagi kedudukan professional mereka. Namun, jika para advokat justru tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah internal mereka. Apa alasannya untuk mencegah agar fungsi-fungsi negara yang relevan ikut berperan jikalau kepentingan rakyat dan negara justru menuntut berfungsinya organisasi tunggal para advokat yang oleh undang-undang advokat telah di kukuhkan sebagai aparay penegak hukum ?
 Selain itu menurunnya kesadaran hukum di masyarakat kita yang berakibat tingginya angka pelanggaran hukum, juga di sebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu hukum serta ilmu agama di tengah masyarakat kita. Untuk itu memasukan ilmu hukum kedalam kurikulum pelajaran sekolah mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi di rasa perlu agar generasi muda bisa memahami ilmu hukum sejak dini. Kemudian, menjadikan pelajaran agama sebagai salah satu pelajaran yang di masukan kedalam Ujian Nasional (UN) sebagai landasan kelulusan peserta didik juga di nilai perlu agar para peserta didik tidak hanya menguasai pengetahuan umum juga pemahaman agama sebagai bekal mereka serta landasan berperikau di masyarakat. Semoga dengan itu dapat mengurangi angka pelanggaran hukum sehigga kehidupan yang aman dan damai seperti yang di cita-citakan dapat terwujud. Selain beberapa solusi tersebut di atas, tentunya masih banyak solusi lainnya yang menjadi tugas kita bersama untuk menggali dan mewujudkannya.





























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Kondisi hukum di Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan. Hal ini tergambar dari penanganan berbagai kasus pelanggaran hukum yang tidak terselesaikan dengan baik, serta meninggkatnya angka pelanggaran hukum di akibatkan oleh menurunnya kesadaran masyarakat tentang hukum dan kurangnya wibawa dan profesionalisme para aparat penegak hukum serta kurangnya perhatian dan jaminan hukum dari pemerintah.
 Sebagai warga negara yang baik, sadar hukum, serta memilki kepedulian akan kondisi hukum di Indonesia, sepantasnyalah kita dapat mengajukan beragam solusi untuk memperbaiki kondisi yang sedang terjadi agar sesuai dengan tujuan dan cita-cita bersama.

B. Saran
Penguasa negara harus bisa memproyeksikan dan men-real-kan(menjadi kenyataan) sebuah tujuan negara yang termaktub dalam alinea IV UUD NRI 1945. Dengan tidak bertindak sewenang-wenang.
Rakyat juga harus membantu mewujudkannya dengan mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang ada dalam negara indonesia, serta membantu pemerintah dalam mewujudkannya negara aman. Adil, sejahtera, dan makmur.
Maka dari itu, harus ada kerjasama kesinambungan berkelanjutan antara penguasa  negara dan rakyat dalam membangun negara indonesia ini. Penguasa negara menyediakan sarana dan prasarana, serta infrastruktur yang memadai. Sehingga rakyat mempunyai lapangan pekerjaan yang banyak untuk pemenuhan hidupnya. Serta adanya timbal balik dari rakyat berupa pajak, sebagai devisa negara yang digunakan  untuk pembangunan bangsa sehingga apa yang dicita-citakan negara dalam pembukaan alinea IV UUD NRI 1945 dapat tercapai.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad.1999. Pengadilan dan Masyarakat. Ujung Pandang : Hasanudin
          University Press
Doyle, Paul Johnson.1986.Teori Sosiologi Klasik dan Modern Terjemahan Robert
          M.Z. Lawang. Jakarta : Gramedia
Soemardi, Dedi.1997.Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Ind-Hill
Soerjono,Soekanto. 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan 
         hukum.Jakarta : Rajawali

No comments:

Post a Comment